Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB)
didirikan di San Francisco, Amerika Serikat pada 24 Oktober
1945
setelah berakhirnya Perang Dunia II. Namun, Sidang Majelis Umum yang pertama baru diselenggarakan pada 10 Januari 1946
di Church House, London
yang dihadiri oleh wakil-wakil dari 51 negara. Saat ini terdapat 192 negara yang
menjadi anggota PBB. Semua negara
yang tergabung dalam PBB menyatakan independensinya masing-masing.
Sejak
didirikan pada tahun 1945, negara-negara anggota PBB berkomitmen penuh untuk
memelihara perdamaian dan keamanan internasional, mengembangkan hubungan
persahabatan antar negara, mempromosikan pembangunan sosial, peningkatan
standar kehidupan yang layak, dan Hak Azasi Manusia. Dengan
karakternya yang unik, PBB dapat mengambil sikap dan tindakan terhadap berbagai
permasalahan di dunia internasional, serta menyediakan forum terhadap 192
negara-negara anggota untuk mengekspresikan pandangan mereka, melalui Majelis
Umum, Dewan Keamanan, Dewan Ekonomi dan Sosial, Dewan Hak Azasi Manusia, dan
badan-badan serta komite-komite di dalam lingkup PBB. Sekretaris Jenderal PBB saat ini adalah Ban Ki-moon
asal Korea
Selatan yang menjabat sejak 1 Januari 2007.
Ruang lingkup peran PBB mencakup
penjaga perdamaian, pencegahan konflik dan bantuan kemanusiaan. Selain itu, PBB
juga menanganii berbagai permasalahan mendasar seperti pembangunan
berkelanjutan, lingkungan dan perlindungan pengungsi, bantuan bencana,
terorisme, perlucutan senjata dan non-proliferasi, mempromosikan demokrasi, hak
asasi manusia, kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, pemerintahan,
ekonomi dan pembangunan sosial, kesehatan, upaya pembersihan ranjau darat,
perluasan produksi pangan, dan berbagai hal lainnya, dalam rangka mencapai
tujuan dan mengkoordinasikan upaya-upaya untuk dunia yang lebih aman untuk ini
dan generasi mendatang.
Sekilas Diplomasi
Indonesia di Perserikatan Bangsa-Bangsa
Indonesia resmi menjadi anggota PBB
ke-60 pada tanggal 28 September 1950 dengan suara bulat dari para negara
anggota. Hal tersebut terjadi kurang dari setahun setelah
pengakuan kedaulatan oleh Belanda melalui Konferensi Meja Bundar. Indonesia dan
PBB memiliki keterikatan sejarah yang kuat mengingat kemerdekaan Indonesia yang
diproklamasikan pada tahun 1945, tahun yang sama ketika PBB didirikan dan sejak
tahun itu pula PBB secara konsisten mendukung Indonesia untuk menjadi negara
yang merdeka, berdaulat, dan mandiri. Oleh sebab itu, banyak negara yang
mendaulat Indonesia sebagai “truly a child” dari PBB. Hal ini dikarenakan peran
PBB terhadap Indonesia pada masa revolusi fisik cukup besar seperti ketika
terjadi Agresi Militer Belanda I, Indonesia dan Australia mengusulkan agar
persoalan Indonesia dibahas dalam sidang umum PBB. Selanjutnya, PBB membentuk
Komisi Tiga Negara yang membawa Indonesia-Belanda ke meja Perundingan Renville.
Ketika terjadi Agresi militer Belanda II, PBB membentuk UNCI yang mempertemukan
Indonesia-Belanda dalam Perundingan Roem Royen.
Pemerintah RI mengutus Lambertus
Nicodemus Palar sebagai Wakil Tetap RI yang pertama di PBB. Duta Besar Palar
bahkan telah memiliki peran besar dalam usaha mendapatkan pengakuan
internasional kemerdekaan Indonesia pada saat konflik antara Belanda dan
Indonesia pada tahun 1947. Duta Besar Palar memperdebatkan posisi kedaulatan
Indonesia di PBB dan di Dewan Keamanan walaupun pada saat itu beliau hanya
sebagai "peninjau" di PBB karena Indonesia belum menjadi anggota pada
saat itu. Pada saat berpidato di muka Sidang Majelis Umum PBB ketika Indonesia
diterima sebagai anggota PBB, Duta Besar Palar berterima kasih kepada para
pendukung Indonesia dan berjanji bahwa Indonesia akan melaksanakan kewajibannya
sebagai anggota PBB. Posisi Wakil Tetap RI dijabatnya hingga tahun 1953.
Sebagai negara anggota PBB, Indonesia
dalam menyelesaikan sengketa Irian Jaya dengan Belanda mengupayakan solusi
dengan mengajukan penyelesaian permasalahan tersebut kepada PBB pada tahun
1954. Posisi Indonesia ini didukung oleh Konferensi Asia Afrika pada bulan
April 1955 yang mengeluarkan sebuah resolusi untuk mendukung Indonesia dan kemudian
meminta PBB untuk menjembatani kedua pihak yang berkonflik dalam meraih solusi
damai. Namun demikian, hingga tahun 1961 tidak ada indikasi solusi damai
meskipun dalam faktanya isu tersebut dibahas dalam rapat pleno Majelis Umum PBB
dan di Komite I.
Pada Sidang Majelis Umum PBB ke-17
tahun 1962, penyelesaian sengketa tersebut akhirnya menemukan titik terang
dengan dikeluarkannya Resolusi No. 1752 yang mengadopsi ”The New York
Agreement” pada 21 September 1962. Selanjutnya, United Nations Executive Authority
(UNTEA) sebagai badan yang diberi mandat oleh PBB untuk melakukan transfer
kekuasaan Irian Jaya dari Belanda kepada Indonesia menjalankan tugasnya secara
efektif mulai 1 Oktober 1962 dan berakhir pada 1 Mei 1963.
Menanggapi keputusan PBB untuk mengakui
kedaulatan Malaysia dan menjadikan Malaysia anggota tidak tetap Dewan Keamanan
PBB, Presiden Soekarno mengumumkan pengunduran diri Indonesia dari keanggotaan
PBB pada tanggal 20 Januari 1965. Setelah pergantian kekuasaan dari Orde Lama
ke Orde Baru, Pemerintah Indonesia pada tanggal 19 September 1966 mengumumkan
bahwa Indonesia “bermaksud untuk melanjutkan kerjasama dengan PBB dan
melanjutkan partisipasi dalam kegiatan-kegiatan PBB”, dan menjadi anggota PBB
kembali pada tanggal 28 September 1966, tepat 16 tahun setelah Indonesia
diterima untuk pertama kalinya.
Sebagai kelanjutan penyelesaian
masalah Irian Barat, Pemerintah Indonesia melaksanakan "Pepera" di
Irian Jaya (Papua) di bawah pengawasan PBB tahun 1969. Pelaksanaan Pepera
dilakukan secara demokratis dan transparan dengan melibatkan masyarakat Irian
Jaya serta melibatkan partisipasi, bantuan, dan saran PBB melalui utusan
khususnya yaitu Duta Besar Ortiz Sanz dari Bolivia.
Pada
akhirnya Pepera telah diterima oleh masyarakat internasional melalui sebuah
Resolusi No. 2504 dalam Sidang Umum PBB ke-24 pada 19 November 1969 yang
mengukuhkan perpindahan kekuasaan di wilayah Irian Jaya dari Belanda kepada
Indonesia.
Sebagai
anggota PBB, Indonesia terdaftar dalam beberapa lembaga di bawah naungan PBB.
Misalnya, ECOSOC (Dewan Ekonomi dan Sosial), ILO (Organisasi Buruh
Internasional), maupun FAO (Organisasi Pangan dan Pertanian). Salah satu
prestasi Indonesia di PBB adalah saat Menteri Luar Negeri Adam Malik menjabat
sebagai ketua sidang Majelis Umum PBB untuk masa sidang tahun 1974.
Indonesia
juga terlibat langsung dalam pasukan perdamaian PBB. Dalam hal ini Indonesia
mengirimkan Pasukan Garuda untuk mengemban misi perdamaian PBB di berbagai
negara yang mengalami konflik.
Pencapaian
Indonesia di Dewan Keamanan (DK) PBB adalah ketika pertama kali terpilih
sebagai anggota tidak tetap DK PBB periode 1974-1975. Indonesia terpilih untuk
kedua kalinya menjadi anggota tidak tetap DK PBB untuk periode 1995–1996. Dalam
keanggotaan Indonesia di DK PBB pada periode tersebut, Wakil Tetap RI Nugroho
Wisnumurti tercatat dua kali menjadi Presiden DK-PBB. Terakhir, Indonesia
terpilih untuk ketiga kalinya sebagai anggota tidak tetap DK PBB untuk masa
bakti 2007–2009. Proses pemilihan dilakukan Majelis Umum PBB melalui pemungutan
suara dengan perolehan 158 suara dukungan dari keseluruhan 192 negara anggota
yang memiliki hak pilih.
Di Komisi Hukum
Internasional PBB/International Law Commission (ILC), Indonesia mencatat
prestasi dengan terpilihnya mantan Menlu Mochtar Kusuma Atmadja sebagai anggota
ILC pada periode 1992-2001. Pada pemilihan terakhir yang berlangsung pada
Sidang Majelis Umum PBB ke-61, Duta Besar Nugroho Wisnumurti terpilih sebagai
anggota ILC periode 2007-2011, setelah bersaing dengan 10 kandidat lainnya dari
Asia.
Indonesia
merupakan salah satu anggota pertama Dewan HAM dari 47 negara anggota PBB
lainnya yang dipilih pada tahun 2006. Indonesia kemudian terpilih kembali
menjadi anggota Dewan HAM untuk periode 2007-2010 melalui dukungan 165 suara
negara anggota PBB.
PBB
sebagai organisasi internasional dengan legitimasi yang bersumber dari
keanggotaan yang bersifat universal, hendaknya selalu menjadi forum penanganan
berbagai tantangan dan krisis global yang semakin kompleks di masa mendatang.
Reformasi PBB khususnya Dewan Keamanan agar lebih mencerminkan kondisi politik
dunia saat ini penting dimajukan agar upaya ini dapat efektif dan memiliki
nilai legitimasi. Indonesia akan terus berada di garis depan dalam memajukan
peranan PBB mengatasi krisis global dan pada saat yang sama menyerukan perlunya
reformasi PBB.
1. Lambertus Nicodemus Palar, 1950-1953
2. Sudjarwo Tjondronegoro, 1953-1957
3. Ali Sastroamidjojo, 1957-1960
4. Soekardjo Wirjopranoto, 1960-1962
5. Lambertus Nicodemus Palar,1962-1965
6. Dr. H. Roeslan Abdulgani, 1967-1971
7. Yoga Soegomo, 1971-1974
8. Ch. Anwar Sani, 1974-1979
9. Abdullah Kamil,1979-1982
10. Ali Alatas, 1982-1988
11. Nana Sutresna, 1988-1992
12. Noegroho Wisnumurti, 1992-1997
13. Makarim Wibisono, 1997-2001
14. Makmur Widodo, 2001-2004
15. Rezlan Ishar Jenie, 2004-2007
16. R.M. Marty M. Natalegawa, 2007-2009
17. Hassan Kleib, 2010-2012
18. Desra Percaya, 2012-Sekarang
Sumber : kemlu.go.id
0 komentar: